Semakin berkembang pesatnya penetrasi pada pelanggan Fixed Wireless Access (FWA) membuat para penyelenggara jaringan Selullar ketar-ketir. Seperti yang diprediksikan beberapa tahun yang lalu ketika pertama kali dikeluarkannya regulasi FWA, yang akan mempu meningkatkan penetrasi dari jaringan tetap lokal atau fixed line. Malahan FWA mampu menjadi saingan utama dari bisnis telekomunikasi selullar, setelah sekian lama tidak mendapatkan saingan dan berjalan tanpa rintangan apapun.
Apalagi regulasi FWA yang mengizinkan pelanggan untuk dapat mengaktifkan handsetnya pada wilayah yang berada dalam satu wilayah kode area. Dengan begitu pelanggan merasa untung dengan menggunakan telepon tetap tapi masih bisa dibawa kemana-mana asalkan masih dalam wilayah yang satu kode area.
Tapi sepertinya para penyedia jaringan FWA tidak hanya berfikir sampai kesitu saja, dengan memanfaatkan celah yang ada pada Keputusan Menteri Perhubungan No 35 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan FWA, maka dibuatkanlah suatu cara agar pelanggan FWA mampu membawa handsetnya tanpa harus ganti kartu.
Dengan kondisi fasilitas tersebut malah membuat FWA menjadi saingan yang harus diwaspadai oleh para penyedian jaringan selular. Maka sangat dimungkinkan apabila banyak para penyelenggara jaringan selullar yang ingin mengeluarkan produk FWA nya dengan alasan BHP untuk frekuensi dan teknologi yang mendukung. Dan sangat wajar apabila sekarang ada satu operator di Indonesia yang mengeluarkan dua produknya di teknologi dan regulasi yang berbeda.
Sepertinya FWA butuh untuk ditinjau kemabali regulasinya, dan ada baiknya dimintai saran juga apa yang dinginkan oleh para penyedia jaringan dan para pelanggan. Karena kalo memang melanggar regulasi , tapi kenapa malah membuat penetrasi telekomunikasi FWA semakin naik.
PENDAHULUAN
Layanan Fixed Wireless Access atau biasa dipanggil FWA merupakan layanan telepon untuk pelanggan yang tetap. Dahulu layanan ini dikenal dengan nama Wireless Local Loop (WLL) yang memberikan layanan telepon tanpa kabel tapi dengan peraturan seperti menggunakan kabel. Sehingga pesawat telepon nya pun hanya bisa berada ditempat itu saja, dan apabila menginginkan perpindahan tempat, maka harus disetujui oleh penyedia jaringan. Sungguh suatu yang sangat merepotkan apabila WLL ingin berpindah-pindah tempat. Berawal dari kekurangan itulah yang memunculkan ide FWA yang bisa dibawa kemana-mana. Berbeda dengan layanan mobile selullar yang tidak membatasi pergerakan pelanggannya, pada layanan FWA pergerakan pelanggannya dibatasi oleh jarak tertentu.
Teknologi CDMA dan GSM
Dari sisi teknologinya antara mobile sellular yang menggunakan teknologi GSM , pada FWA teknologi yang digunakan adalah CDMA. Tapi bukan berarti teknologi CDMA tidak mampu berbuat seperti GSM, hanya karena regulasinya yang dibuat agar memenuhi persyaratan. FWA juga menggelar jaringan didalam konfigurasi teknologi berbasis selular, dengan basestation ( BTS ) didalam area tersebut. Konfigurasi selular menyediakan spektrum yang lebih efisien karena menggunakan frekuensi reuse. Jadi perbedaan utamanya adalah pada pelanggan selular menyediakan solusi telekomunikasi untuk mobile user sedangkan FWA adalah akses network yang menyediakan wireline untuk fixed user.
Dilihat dari keterbatasan pergerakan pada layanan FWA, pastinya harus ada perbedaan regulasi antara mobile selular dan FWA. Tentu karena keterbatasan pergerakan dari FWA yang mempengaruhi harga dari penggunaan layanan FWA tersebut. Tapi dalam kenyataannya masih diperdebatkan masalah batas-batasan wilayah cakupan. Yang selama ini batasan itu masih dibatasi oleh satu kode wilayah.
Jadi seharusnya FWA berkompetisi langsung dengan wireline dan karena itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh FWA agar bisa bersaing dengan wireline. Dalam pandangan kualitas, pelanggan FWA seharusnya menyadari bahwa sangat sulit untuk bersaing kualitas dengan wireline. Karena pada wireless mempunyai bandwidth yang sangat terbatas dan mempengaruhi kualitas seperti kecepatan pelayanan dan delay yang cukup panjang. Tidak seperti Selullar, realibility FWA haruslah sebesar 99.99%, sementara selullar sebesar 90%. Karena mobilitas yang tinggi itulah yang membuat sistem selullar didesain lebih rendah dalam hal Grade of Service (GOS).
Dari sisi ekonomi, FWA secara nyata merupakan produk yang dibangun untuk mengisi kebutuhan yang spesifik, cepat dan ekonomis, akses ke jaringan dimana infrastruktur jaringan wireline tidak mencukupi dibanyak negara berkembang. Sehingga FWA dapat menyediakan akses secara cepat tanpa awal investasi yang terlalu besar dan lama. Selain hal tadi, masalah pergerakan yang terbatas pada satu kode area saja juga yang membuat harga FWA lebih rendah dari selullar.
Dilihat dari aspek regulasi, sebenarnya pemerintah Indonesia pun sedang mengikuti regulasi FWA yang terdapat di India. Karena India merupakan negara berkembang dengan penduduk yang sangat banyak. Regulasi memainkan peranan penting di masing-masing negara yang dipengaruhi akan kebutuhan telekomunikasi negara tersebut.
Maka awalnya sangat memungkinkan dibuatnya regulasi FWA yang disambut positif oleh masyarakat luas. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian masyarakat Indonesia merupakan menengah kebawah yang berpenghasilan pas-pasan atau rendah. Dengan tingkat mobilitas yang rendah tapi memerlukan komunikasi yang cepat, sudah tentu FWA menjadi pilihan yang tepat disamping selullar yang dari segi harga mencapai separuhnya. Tapi meskipun begitu, pada awalnya regulasi FWA dengan mobilitas terbatas saja sudah banyak ditentang oleh para penyedia jaringan telekomunikasi selular seperti TELKOMSEL dan EXCELCOM, karena mereka menginginkan regulasi FWA yang isinya membatasi kemampuan pergerakan pelanggannya hanya dalam satu BTS saja. Tentu saja hal itu ditolak mentah-mentah oleh TELKOM sebagai first comer untuk penyelenggaraan FWA.
Maka sudah menjadi hal yang tidak aneh lagi dengan kondisi sekarang dan memang sudah diprediksikan sebelumnya persaingan layanan fixed wireless access (FWA) berbasis teknologi Code Multiple Division Access (CDMA) di Indonesia semakin ketat. Setelah PT Telkom sebagai pelopor pemasaran FWA dengan TelkomFLEXI nya, Bakrie Telecom dengan Esia, Indosat yang muncul lagi dengan StarONE yang sempat menghilang, kini Mobile8 mengeluarkan produk FWA nya dengan brand Hepi, setelah sekian lama tertunda.
Sebelum Hepi, Mobile8 padahal sudah terlebih dahulu mengeluarkan produk layanan Mobile Selullar dengan brand FREN. Dengan begitu Mobile8 mengikuti jejak dari PT.Indosat yang mengeluarkan dua layanan pada mobile selular dan FWA. Kedua produk tersebut yaitu FREN dan HEPI yang menggunakan teknologi berbasis CDMA, sehingga dari sisi investasi jaringannya akan menjadi lebih murah karena menggunakan sistem yang sama. Berbeda dengan Indosat yang menggunakan sistem GSM dan CDMA untuk kedua layanan yang berbeda. Maka pada investasi Hepi, Mobile8 tidak perlu berinvestasi terlalu besar. Hal yang sempat terfikir oleh para operator selular besar di Indonesia seperti Telkomsel, EXCEL yang tahun lalu berteriak-teriak tentang kecurangan penyelanggara FWA dalam menyelenggarakan jaringannya. Bahkan tahun lalu EXCEL dan raksasa operator telekomunikasi selullar di Indonesia yaitu Telkomsel juga sudah melakukan riset pasar dan juga survey tempat dibeberapa kota besar.
Lalu apa yang menjadi alasan utama bagi Mobile8 untuk mengeluarkan layanan FWA nya, padahal perusahaan tersebut sudah mempunyai brand mobile selullar dengan nama FREN. Masalah penetrasi telekomunikasi di Indonesia yang masih rendah dan potensi pasar yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat kelas menengah kebawah mungkin menjadi jawaban yang pas. Apalagi adanya perbedaan tarif yang sangat signifikan antara pelanggan mobile selullar dan FWA.
MAKSUD DAN TUJUAN
Pertumbuhan pengguna telekomunikasi di Indonesia sedang mengalami masa yang sangat berkembang. Teledensitas selullar mencapai lebih dari 35% atau sekitar 80 juta nomor untuk 230 juta penduduk Indonesia. Tapi teledensitas itu masih semu, karena bisa saja satu orang dapat memiliki lebih dari satu nomor sehingga angka bersih teledensitasnya hanya sekitar 20%.
Berbeda dengan telepon kabel yang tetap (wireline) yang dalam satu nomor masih bisa digunakan lebih dari dua orang dalam satu rumah. Pada FWA dengan ketentuan mobilitas terbatas tentu saja dapat menambah teledensitas telepon kabel tetap. Malahan dengan adanya FWA tidak jarang dalam satu orang memiliki dua handphone untuk selullar dan FWA. Dengan dalih agar dapat berkomunikasi dengan murah sedangkan handset selularnya sudah menjadi nomor bisnis yang sudah dikenal oleh relasi dan kerabat, maka banyak masyarakat Indonesia yang umumnya kelas menengah kebawah menggunakan FWA. Apalagi tarif untuk selular yang masih mahal dan hampir separuhnya, juga karena tingkat mobilitas penduduk Indonesia yang rendah menjadi alasan bagi para pengguna FWA.
Tapi dengan kondisi yang sekarang, dimana para penyedia layanan FWA membuat trik-trik berupa layanan agar handset FWA nya dapat digunakan di beberapa kota. Sehingga FWA yang tadinya mempunyai mobilitas yang terbatas menjadi tidak terbatas. Berdasarkan pengamatan oleh BRTI dilapangan, ditemukan bahwa layanan FWA yang menggunakan feature tambahan agar bisa aktif didaerah lain sangat mirip sekali dengan layanan selular atau GSM, Padahal pemerintah menerapkan regulasi yang berbeda antara FWA dan selullar.
Kemiripan itu terlihat dari mekanisme panggilan telepon atau Call Forward yang digunakan sangat mirip dengan mekanisme roaming pada layanan selular. Dengan demikian sebuah nomor FWA tetap bisa dihubungi meskipun pemilik nomor itu berada di kota yang memiliki kode area berbeda. Mekanisme itu sama dengan mobile station roaming number pada roaming jaringan selullar. Perbedaannya pada FWA hanya terletak pada mekanisme update lokasi yang digantikan dengan mekanisme pengaktifan nomor melalui pesan pendek.
Kondisi yang ada sekarang dan bukti penyalahgunaan tersebut seharusnya membuat pemerintah untuk lebih tegas dan konsekwen dalam menjalankan aturan telekomunikasi yang sudah ditetapkan. Ketika Flexi mengeluarkan fasilitas Flexi Combo-nya di iklan-iklan media cetak dan televisi secara jor-joran barulah pemerintah dengan gencar mengindikasikan adanya penyimpangan dan memanggil Telkom selaku pemilik produk untuk memberikan keterangan dan sangkalan kepadanya. Lalu bagaimana dengan kabarnya sekarang ? Sudah nyaris tidak terdengar. Mungkin karena layanan seperti Flexi Combo sangat disambut baik oleh masyarakat sehingga wajar apabila pemerintah membela masyarakat atau memang ada hal lain yang membuat layanan seperti ini bak hilang ditelan dibumi. Padahal operator-operator selullar sudah teriak-teriak kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) bahwa PT Telkom melanggar aturan yang dikeluarkan pemerintah, yaitu nirkabel tetap hanya bisa digunakan di kotanya atau di kode areanya.
Terlepas dari sambutan yang baik oleh masyarakat, banyak juga yang mengeluhkan tentang mahalnya tarif call forward yang dilakukan oleh FWA apabila sedang berada dikota lain. Selain itu nomor temporer yang belum optimal dan sinyal FWA yang masih belum begitu lancar. Namun bagi pengguna yang hanya menggunakan satu nomor layanan FWA dan hanya punya satu handphone berkemampuan CDMA, layanan tersebut bisa jadi sangat bermanfaat.
Dengan demikian sangat perlu bagi regulator untuk membuat regulasi yang baru untuk FWA, mengingat sambutan yang baik oleh masyarakat dan juga pentingnya suatu inovasi yang berorientasi demi kepentingan publik, semestinya terus didukung. Bagaimana mendukungnya ? tentu cari jalan terbaik untuk regulasi FWA yang semakin fleksibel.
Apakah dengan makin fleksibel nya FWA membuat rugi pihak lain ? Bisa jadi pemerintah pun mengalami kerugian karena perbedaan Biaya Hak Pengguna (BHP) frekuensi yang berbeda antara FWA dan selullar. Atau mungkin juga operator selullar merasa ada diskriminasi antara penyedia jaringan selullar dan FWA. Mungkin sekarang dengan dikeluarkannya tarif interkoneksi yang lebih murah dan banyaknya penurunan tarif yang banyak dilakukan oleh operator selullar lupa untuk mengajukan niatnya menggelar jaringan FWA. Masih ingat setahun yang lalu, dimana operator selullar juga sangat tergiur untuk menyediakan jaringan FWA tapi berbasis teknologi GSM.
Sangat mungkin memang bagi para penyelenggara selullar untuk menggelar jaringan FWA. Tapi tentu saja terbentur oleh Kepmen No 34 Tahun 2005 yang mengharuskan penyelenggara FWA memakai teknologi CDMA. Oleh karena itu pemerintah langsung mengantisipasi terjadinya hal itu. Sebenarnya sudah banyak juga pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh para penyedia jaringan telekomunikasi baik selullar maupun FWA. Tapi sepertinya pemerintah adem-ayem saja ketika publik sudah tidak mempedulikannya. Misalnya seperti pelanggan FWA di Bogor yang bisa menggunakan handsetnya di daerah Jabotabek, padahal sesuai dengan aturannya bahwa kode area Bogor tentu berbeda dengan kode area Jakarta. Tentu hal ini sangat menguntungkan pelanggan Bogor, dan pemerintah seperti tidak mempedulikan. Tapi setelah operator selullar teriak-teriak masalah penggunaan kode area, akhirnya pemerintah turun tangan untuk mendisiplinkan para penyelenggara FWA. Seharusnya pemerintah bersikap seperti itu terhadap penyedia jaringan telekomunikasi yang nakal. Menegur, mendisiplinkan bahkan kalo perlu dicabut hak lisensinya apabila masih belum nurut.
REGULASI FWA
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel Dengan Mobilitas Terbatas. Yang dimaksud dengan mobilitas terbatas adalah mobilitas jaringan akses pelanggan tetap lokal tanpa kabel yang dibatasi pada satu daerah tertentu. Yang mana penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel namun tidak terbatas pada penggunaan teknologi wireless CDMA (Code Division Multiple Access).
Beberapa sedikit rincian yang penting mengenai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2004.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel yang dimaksud dalam keputusan ini adalah penyelenggara jaringan tetap lokal yang antara lain namun tidak terbatas pada penggunaan teknologi wireless CDMA (Code Division Multiple Access) ;
2. Jaringan akses pelanggan adalah jaringan yang dibangun dan digunakan untuk menyediakan akses bagi pelanggan;
3. Mobilitas terbatas adalah mobilitas jaringan akses pelanggan tetap lokal tanpa kabel yang dibatasi pada satu daerah operasi tertentu.
BAB II
PENYELENGGARAAN JASA TELEKOMUNIKASI
Pasal 2
(1) Penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas merupakan bagian dari penyelenggara jaringan tetap lokal.
(2) Penyelenggaraan jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara jaringan tetap lokal yang telah mendapatkan izin dari Menteri.
Pasal 3
(1) Wilayah layanan penyelenggaraan jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas dibatasi maksimum pada satu kode area layanan jaringan tetap lokal.
(2) Wilayah kode area penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sama dengan wilayah penomoran jaringan tetap lokal yang berlaku berdasarkan rencana dasar teknis sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas dilarang membuka fasilitas jelajah antar kode wilayah layanan yang berbeda.
(2) Setiap nomor pelanggan hanya dapat terdaftar pada satu daerah operasi dan tidak dapt digunakan di luar daerah operasinya.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan jaringan tetap lokal yang mengoperasikan jaringan tetap lokal dengan mobilitas terbatas wajib melakukan pemisahan pembukuan dalam penyelenggaraannya.
(2) Pemisahan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi antara lain pembukuan seluruh komponen investasi pendapatan dan biaya operasi.
BAB III
TARIF, BIAYA INTERKONEKSI DAN BIAYA HAK PENGGUNAAN FREKUENSI
Pasal 15
Setiap penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas wajib membayar Biaya Hak Pengguna (BHP) Frekuensi yang secara rinci akan diatur dalam Keputusan Menteri tersendiri.
Dari uraian Kepmen diatas menjelaskan bahwa penyelenggara jaringan tetap lokal adalah dengan status Mobilitas terbatas. Yaitu mobilitas jaringan akses pelanggan tetap lokal tanpa kabel yang dibatasi pada satu daerah operasi tertentu. Sedangkan untuk penyelenggaraanya tidak terbatas hanya pada teknologi CDMA, jadi besar kemungkinan bagi pemilik jaringan teknologi selain CDMA juga boleh menyelenggarakan jaringan lokal.
Selain itu dijelaskan pula bahwa penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas adalah bagian dari penyelenggara jaringan tetap lokal. Jadi jaringan tersebut hanya boleh melayani pelanggan yang berada pada satu kode area tertentu. Karena sangat tergantung pada batas, maka area layanan harus benar-benar sesuai dengan jaringan lokal yang ada sebelumnya. Apabila sudah masuk ke daerah yang lain kode area, sudah tentu layanan tersebut tidak dapat digunakan.
Kemudian masalah biaya tentu saja menjadi hal yang paling sensitif, karena sangat berpengaruh terhadap pelanggan. Yang paling mendasar dari biaya adalah BHP. Perbandingan antara BHP seluler dan BHP FWA memang sangat timpang. Porsi pembayaran izin BHP seluler tigabelas kali lebih mahal dibanding FWA.
Bisa kita lihat juga perincian penting dari Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2005 yang menjelaskan tentang petunjuk pelaksanaan tarif atas penerimaan negara bukan pajak dari biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio.
BAB II
BIAYA HAK PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO
Pasal 2
(1) Setiap pengguna spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin Menteri.
(2) Izin penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk ISR pita spektrum frekuensi radio dan atau ISR kanal spektrum frekuensi radio.
(3) ISR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah pengguna spektrum frekuensi radio membayar BHP spektrum frekuensi radio.
(4) BHP spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibayar di muka untuk masa penggunaan 1 (satu) tahun.
Pasal 3
Perhitungan besaran BHP spektrum frekuensi radio untuk ISR pita spektrum frekuensi radio akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Sendiri.
Pasal 4
(1) Perhitungan besaran BHP spektrum frekuensi radio untuk ISR kanal spektrum frekuensi radio berdasarkan formula sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Formula BHP spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Harga Dasar Daya Pancar (HDDP);
b. Harga Dasar Lebar Pita (HDLP);
c. Daya Pancar (p);
d. Lebar Pita (b);
e. Indeks biaya pendudukan lebar pita (lb);
f. Indeks biaya daya pemancaran frekuensi (lp);
g. Zona.
(3) Daya pancar (p) dan Lebar pita (b) ditetapkan berdasarkan hasil evaluasi teknis oleh Direktur Jendral.
(4) Indeks biaya pendudukan lebar pita (lb), Indeks biaya Daya Pemancaran frekuensi (lp) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini.
(5) BHP spektrum frekuensi radio untuk jenis pelayanan baru yang belum tercantum dalam Lampiran Peraturan ini, penetapan parameter lb dan lp mengikuti jenis pelayanan sejenis.
(6) Tabel pembagian zone penggunaan spektrum frekuensi radio tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini.
(7) BHP spektrum frekuensi radio untuk jenis pengguanan frekuensi jaringan satelit (space segment) dihitung berdasarkan zone III.
(8) Besaran tarif BHP spektrum frekuensi radio adalah sama untuk penyelenggara lama (eksisting ) maupun penyelenggara baru.
(9) Besaran lb dan lp dapat ditinjau secara periodik setiap 2(dua) tahun sekali dengan memperhatikan komponen jenis spektrum frekuensi radio, lebar pita dan atau kanal spektrum frekuensi radio, luas cakupan, lokasi dan minat pasar.
Lampiran I
JENIS PENGGUNAAN FREKUENSI lb lp
Jaringan Terrestrial (backbone) Base/Repeater Stasiun 0,060 0,290
Jaringan Satelit Satelit (Space Segment) 0,080 0,000
Stasiun Bumi Tetap 0,040 2,520
Stasiun Bumi Portable 1,510 0,180
Jaringan Telepon Lokal tanpa kabel Base + out stasiun 0,070 0,392
(FWA CDMA dgn mobilitas terbatas)
Jaringan Tetap Lokal (FWA CDMA) Base + out stasiun 8,210 0,490
yang menggunakan terminal tetap (Fixed terminal)
Jasa Selular FDMA (AMPS,NMT) Base + out stasiun 6,344 0,630
Jasa Selular TDMA (GSM,DCS & PCS) Base + out stasiun 3,060 3,031
Jasa Selular DS-CDMA (IS95) Base + out stasiun 1,360 10,539
Tabel 1. Lampiran Indeks Biaya Pendudukan dan pemancaran Frekuensi
Dengan demikian bisa kita lihat pada tabel 1. perbedaan BHP antara teknologi CDMA dan GSM apalagi antara penyelenggara selular dan FWA. Malahan dari tabel lampiran I dijelaskan bahwa biaya penggunaan untuk teknologi CDMA yang selullar mendapatkan biaya lebih mahal, bisa sampai lebih dari 10 kalinya. Belum lagi untuk perbedaan zona yang dimana kota-kota besar mendapatkan biaya yang tentunya lebih besar juga.
Selain karena BHP, teknologi CDMA juga diakui lebih efisien, sehingga untuk satu lebar pita yang sama, CDMA bisa melayani percakapan sekitar 10 kali lebih banyak dibandingkan GSM. Dengan begitu dalam hal penggelaran BTS, CDMA bisa lebih sedikit dari BTS GSM dengan kemampuan yang sama. Belum lagi pengaruh frekuensi yang lebih rendah yaitu 800 MHz dibandingkan dengan GSM yang menempati frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz. Sehingga untuk melayani pelanggan sebanyak mungkin maka GSM harus lebih banyak menggunakan frekuensi reuse yang lebih banyak untuk dipecah-pecah di BTS-BTS yang bersebrangan.
Lalu bagaimana dengan sikap para operator selular dengan kondisi BHP yang sangat berbeda dengan FWA tapi kemampuan jelajahnya bisa hampir sama dengan selullar. Dimana seharusnya peraturan tersebut jelas-jelas telah dilanggar, dan sepertinya memang mereka sengaja agar peraturan dibuat untuk dilanggar.
PELANGGARAN OPERATOR
Dari uraian mengenai regulasi FWA, bisa kita lihat dengan kondisi sekarang beberapa langkah para penyedia jariangan FWA yang melanggar peraturan-peraturan yang ditetapkan. Mulai dari dibukanya roaming untuk kode area Bogor menuju Jakarta ataupun sebaliknya. Lalu sampai kehadiaran FWA yang bisa bergerak alias mampu menembus batas kode area.
Dengan ditemukannya beberapa pelanggaran dan bukti-buktinya, membuktikan bahwa masih banyak para penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak berkomitmen dalam menjalankan bisnisnya. Tapi apa yang dilakukan oleh pemerintah selaku regulator dalam menghadapi para penyelenggara yang membandel. Ternyata mereka hanya menegur dan minta penjelasan dari para penyelenggara tersebut. Setelah itu berniat untuk untuk membenarkan kembali.
Seperti contoh tahun 2006 ketika para penyelenggara FWA seperti Telkom, Indosat dan Bakrie yang dipanggil oleh regulator untuk dimintai penjelasan mengenai kemampuan akses para pelanggan FWA yang melebihi batas area kode asalnya. Seperti yang terjadi di Bogor, dimana pelanggan Bogor yang memiliki pekerjaan di Jakarta dan bertempat tinggal di Bogor mampu membawa handset FWA nya baik di Jakarta maupun di Bogor dengan nomor yang sama. Sehingga mereka tidak perlu repot-repot mengganti nomor dan dengan leluasa menggunakan akses lokalnya.
Setelah pemerintah menegur dan meminta penjelasan mengenai pelanggaran tersebut barulah penyelenggara jaringan FWA melakukan pembetulan. Tapi apa hukumannya? Bisa dibilang tidak ada atau mungkin sudah disepakati win-win solusion untuk kedua belah pihak. Tentunya hanya operator selullar saja yang merasa dirugikan. Sedangkan bagi masyarakat seperti Bogor khususnya menjadi tidak mendapatkan kenyamanan lagi seperti sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan fasilitas Combo yang ditawarkan oleh Flexi. Dengan fasilitas Combonya yang berkemampuan mirip selullar, dalam artian bisa dibawa kemana-mana. Padahal dari izin yang ada, Flexi yang merupakan produk dari PT.Telkom hanya diberi izin untuk menggelar layanan telepon tetap tanpa kabel dalam cakupan mobilitas terbatas. Dalam artian, pelanggan mestinya hanya bisa berkomunikasi dalam satu kode area saja tanpa bisa menggunakan teleponnya dikode area yang berbeda. Bila merujuk pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2004:
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 Ayat 3. Mobilitas terbatas adalah mobilitas jaringan akses pelanggan tetap lokal tanpa kabel yang dibatasi pada satu daerah tertentu.
Pasal 3 ayat 1. Wilayah layanan penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas dibatasi maksimum pada satu kode area layanan jaringan tetap lokal.
Pasal 4 ayat 1. Penyelanggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas dilarang membuka fasilitas jelajah antar kode wilayah layanan yang berbeda.
Pasal 4 ayat 2. Setiap nomor pelanggan hanya dapat terdaftar pada satu daerah operasional dan tidak dapat digunakan diluar daerah operasinya.
Dari peraturan yang ada membuktikan bahwa layanan Flexi Combo memang menyalahi aturan yang ditetapkan. Seperti yang tercantum dalam pasal 4 ayat 1 dan 2. Seharusnya nomor-nomor FWA yang hanya terdaftar di satu kode area tidak bisa digunakan di daerah yang berbeda. Sehingga tidak ada fasilitas apapun untuk pelayanan FWA tersebut.
Dalam suatu inovasi yang memang kontroversial, para penyelenggara telekomunikasi jeli melihat kelemahan regulasi pada KM Perhubungan Nomor 35 Tahun 2004. Tapi tetap berpedoman dan berpegangan pada regulasi. Dengan tidak harus mengganti kartu, dan hanya mendaftarkan lewat sms maupun fasilitas lain. Maka hadirlah layanan FWA antarkota yang fleksibel dan bisa digunakan dikotadan kode area mana saja layaknya selullar dengan memakai nomor yang berbeda-beda secara temporer tapi mampu kembali lagi menggunakan nomor induk ketika kembali ke kota asal.
Namun demikian, kontroversi dan polemik akan layanan tersebut tetap mencuat. Maka dipanggillah para direksi BUMN telekomunikasi itu untuk dimintai keterangan. Awalnya, mereka bersikukuh tak ada pelanggaran. Karena yang mereka lakukan hanyalah feature dariFWA. Ya, dengan berdalih menggunakan nomor yang berbeda dan juga berbeda kode area, maka penggunaan layanan Flexi Combo menjadi kekuatan untuk mengalahkan kelemahan dari PM Nomor 34 Tahun 2004.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia yang melakukan investigasi akhirnya menemukan sejumlah penyimpangan, seperti adanya tiga nomor aktif sekaligus dalam satu waktu dan di luar kode area nomor induk. Lainnya, aktivasi call forwarding hanya bisa dilakukan di satu kode area.
Kemudian BRTI melayangkan surat tanggal 7 November 2006 kepada tiga operator secara bersamaan: PT Telkom (Flexi), PT Indosat (StarOne) dan PT Bakrie Telecom (Esia) yang menindaklanjuti teguran pertama BRTI soal pelanggaran yang dilakukan para operator FWA tersebut terhadap KM. 35/2004. Keputusan BRTI dalam surat yang ditandatangani Dirjen Postel selaku Ketua BRTI tersebut, memutuskan tiga hal. Pertama, BRTI menginstruksikan kepada para operator FWA tersebut untuk memberikan layanan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku yaitu KM. 35/2004 tentang Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel dengan Mobilitas Terbatas. Kedua, kepada ketiganya diberikan waktu hingga 1 Desember 2006 untuk melakukan perubahan-perubahan terkait dengan pelanggaran wilayah layanan penyelenggaraan jaringan telepon tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas yang dibatasi maksimum hanya pada satu kode area layanan jaringan tetap lokal saja. Dan Ketiga, apabila hingga batas waktu tanggal tersebut perubahan belum dilakukan menyeluruh, maka layanan FWA yang ada harus dihentikan sampai aturan dan ketentuan yang berlaku pada KM.35/2004 dipenuhi.
Surat Keputusan BRTI tertanggal tersebut adalah merupakan surat lanjutan setelah sebelumnya pada tanggal 10 Mei 2006 BRTI mengeluarkan surat teguran kepada tiga operator penyelenggara fixed wireless access (FWA) terkait dengan pelanggaran mobilitas terbatas sebagaimana telah diatur dalam KM Menteri Pehubungan No. 35/2004.
Surat teguran (pertama) dikeluarkan, berdasarkan atas hasil peninjauan yang telah dilakukan oleh BRTI di area Jakarta, Bandung dan Surabaya. Peninjauan dilakukan untuk mengetahui implementasi coverage area limited mobility dimana ditemukenali bahwa layanan ke tiga operator FWA tersebut ternyata masih bisa digunakan dengan baik (untuk melakukan panggilan outgoing atau incoming) di luar masing-masing kode area (021 untuk Jakarta, 022 untuk Bandung, 031 untuk Surabaya).
BRTI menyatakan bahwa mereka telah melakukan pelanggaran atas Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2004 dimana dalam Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa wilayah layanan penyelenggaraan jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas dibatasi maksimum pada satu kode area layanan jaringan tetap lokal. BRTI meminta mereka untuk segera melaksanakan tindakan-tindakan (teknis dan non teknis) yang diperlukan agar coverage area layanan masing-masing operator sesuai dengan KM 35/2004.
Telkom pun akhirnya mengakui kesalahan tersebut dan berjanji akan memperbaikinya. Setelah melakukan perbaikan yang beranggapan bahwa kini nomor yang aktif hanya satu saja, dengan demikian apabila pelanggan Flexi melakukan berpergian ke luar kota dan melakukan aktifasi Combonya dengan kode area yang berbeda, maka nomor induknya sudah bisa dipastikan tidak akan aktif. Sehingga layanan ini tetap menjadi faktor yang paling penting di FWA yang selama ini hanya bisa dipakai didaerah dengan kode area yang sama.
Namun di luar itu semua, lagi – lagi dengan berdalih sudah mengoreksi kesalahannya . Yang berarti para penyedia jaringan FWA sudah mengakui kesalahannya tapi tetap saja tidak ada hukuman bagi para pelanggar. Yang ada layanan tersebut tetap diperkenankan pemerintah untuk jalan terus. Karena, layanan tersebut bukanlah seluler dan tidak memiliki kemampuan roaming. Layanan juga diakui sebagai bentuk inovasi di bidang telekomunikasi.
Dalam layanan FlexiCombo, setelah mendapatkan nomor temporer di kota tujuan, pelanggan tetap bisa menerima panggilan telepon ke nomor kota asal karena ada fasilitas call forwarding. Pelanggan tersebut akan dikenai biaya untuk penerusan panggilan (call forwarding) saat menerima panggilan.
Memang, banyak keluhan tentang mahalnya tarif penerusan panggilan bila dibandingkan penerimaan panggilan biasa pada SLJJ (sambungan langsung jarak jauh). Serta, masalah penggunaan nomor temporer yang belum optimal dan sinyal yang masih belum begitu lancar.
Namun, bagi pengguna yang hanya menggunakan satu nomor layanan Flexi dan hanya punya satu ponsel berkemampuan CDMA, layanan tersebut bisa jadi sangat bermanfaat. Terlepas dari itu semua, laku atau tidaknya inovasi layanan tersebut, berpulang lagi pada pelanggan. Yang pasti, Telkom sudah diuntungkan sejak awal karena mendapatkan publikasi gratis gara-gara fenomena dan kontroversinya.
Hal inilah yang membuat para penyedia jaringan sellular ingin juga mengeluarkan produk FWA nya, meskipun berkemampuan teknologi GSM. Mereka berpendapat dengan produk FWA tentunya mampu menjaring dan mendapatkan pelanggan yang lebih banyak lagi dengan orientasi menengah kebawah. Contoh yang paling nyata dengan kehadiran produk Hepi yang dikeluarkan oleh Mobile8, yang sebelumnya sebagai penyedia jaringan telekomunikasi sellular sekarang mengeluarkan produk FWA nya.
Para penyedia jaringan sellular beranggapan adanya diskriminasi yang sangat jauh antara penyedia jaringan sellular dan penyedia jaringan FWA. Padahal dengan kemampuan yang hampir sama, dalam artian mampu bergerak ke kota-kota lain yang mempuanyai kode area yang berbeda. Para penyedia jaringan sellular merasa pemerintah selaku regulator lebih memihak kepada penyelenggara FWA.
KESIMPULAN
Belum juga berusia yang cukup lama bagi regulasi FWA hadir di Indonesia, tapi sudah banyak para penyedia jaringan telekomunikasi FWA yang melanggar peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Apalagi untuk penyelenggara jaringan selullar yang sudah cukup lama dan juga sering melanggar peraturan. Tapi tidak ada hukuman-hukuman yang jelas dari pemerintah. Yang ada hanya berupa teguran saja.
Dari kejadian tersebut membuktikan bahwa dalam menjalankan regulasinya, pemerintah seperti terlihat kurang bertaji menghadapi para penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar peraturan. Yang ada, pemerintah seperti menegur para penyedia jaringan telekomunikasi yang melanggar peraturan dan berkoar-koar didepan para wartawan. Namun setelah beberapa hari dan setelah para penyedia jaringan melakukan koreksi atas kesalahannya, sepertinya pemerintah tidak memberikan hukuman kepada para penyedia jaringan yang melanggar. Ada apa dibalik itu semua ?
Bisa jadi untuk kedepannya, mungkin diperlukan juga hukuman apa bagi yang melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Sehingga peraturan-peraturan tersebut menjadi sangat jelas. Jadi apabila para penyedia jaringan telekomunikasi melanggar aturan, maka hukuman yang diberikan juga jelas, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan –kecurigaan pihak lain.
Sementara untuk regulasi FWA yang banyak juga mempunyai celah untuk disalahgunakan, sepertinya dibutuhkan juga regulasi FWA yang baru. Ini terkait dengan tidak ada batasan lagi untuk penggunaan produk FWA yang dikeluarkan. Seakan-akan produk FWA nya tidak lagi berbeda dengan mobile sellular, karena semua para pelanggan pengguna FWA masih bisa membawa handsetnya ke kota lain meskipun berbeda-beda kode area.
Para penyedia jaringan sellular juga merasa ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah karena lebih memihak kepada penyedia jaringan FWA. Sehingga banyak dari para penyedia jaringan sellular yang ingin mengeluarkan produk FWA nya walaupun memakai teknologi GSM
Jadi perlunya perubahan pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2004, agar para penyedia jaringan FWA tidak memanfaatkan celah untuk dilanggar. Beberapa perubahannya yaitu :
Pada pasal 3 ayat 1. Wilayah layanan penyelenggara Jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas dibatasi maksimum pada tiga kode area layanan jaringan lokal pada waktu yang bersamaan.
Dengan begitu pada pelanggan FWA hanya dibatasi mempunyai tiga nomor dengan kode area yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Sehingga tiga nomor tersebut hanya mampu aktif di tiga kode area. Apabila masuk ke kota selain tiga kode area tersebut tidak bisa aktif
Pasal 4 ayat 1. Penyelenggara jaringan tetap lokal tanpa kabel dengan mobilitas terbatas hanya boleh membuka fasilitas jelajah antar tiga kode wilayah layanan berbeda yang didaftarkan sebelumnya.
Selain tiga kode area tersebut maka tidak bisa aktif.
Pasal 4 ayat 2. Setiap nomor pelanggan hanya terdaftar pada satu daerah operasional dan tidak dapat digunakan diluar daerah operasional, begitu pula dengan dua nomor lainnya hanya bisa digunakan sesuai dengan kode areanya.
Jadi meskipun memiliki tiga nomor dengan kode area berbeda, tapi nomor – nomor tersebut hanya boleh aktif ketika berada pada kode area nya.
Disamping itu, pembayaran BHP frekuensi untuk FWA juga seharusnya tidak lagi dibedakan dengan para pengguna frekuensi untuk mobile sellular. Biaya BHP untuk sellular memang tigabelas kali lebih mahal daripada biaya BHP untuk FWA, sehingga wajar apabila penyedia jaringan sellular iri dengan kemampuan FWA yang sangat mobile. Seperti yang kita tahu bahwa meskipun terjadi perang tarif antara penyedia jaringan telekomunikasi tapi sesungguhnya yang ada hanya perang marketing. Karena biaya BHP juga sangat mempengaruhi tarif on-net (untuk penyedia jaringan yang sama),Tapi tarif yang ditawarkan pun hanya tarif promo dan bersifat sementara untuk menarik pelanggan atau menambah penetrasi pelanggan.
Selain itu diperlukan juga perubahan pada Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2005 pada Lampiran I
Lampiran I
JENIS PENGGUNAAN FREKUENSI lb lp
Jaringan Terrestrial (backbone) Base/Repeater Stasiun 0,060 0,290
Jaringan Satelit Satelit (Space Segment) 0,080 0,000
Stasiun Bumi Tetap 0,040 2,520
Stasiun Bumi Portable 1,510 0,180
Jaringan Telepon Lokal tanpa kabel Base + out stasiun 1,360 10,539
(FWA CDMA dgn mobilitas terbatas)
Jaringan Tetap Lokal (FWA CDMA) Base + out stasiun 1,360 10,539
yang menggunakan terminal tetap (Fixed terminal)
Jasa Selular FDMA (AMPS,NMT) Base + out stasiun 6,344 0,630
Jasa Selular TDMA (GSM,DCS & PCS) Base + out stasiun 3,060 3,031
Jasa Selular DS-CDMA (IS95) Base + out stasiun 1,360 10,539
Tabel 1. Lampiran Indeks Biaya Pendudukan dan pemancaran Frekuensi
Perubahan yang utama adalah pada biaya pendudukan dan pemancaran frekuensi untuk teknologi CDMA disamakan. Baik yang menggunakan regulasi selular maupun untuk regulasi FWA, baik yang mobilitas terbatas, maupun yang menggunakan fixed terminal. Karena meskipun menggunakan fixed terminal, pada kenyataannya banyak dari pelanggan yang membawa kemana-mana fixed terminal tersebut. Jadi seperti tidak ada bedanya antara FWA yang mobilitas terbatas dengan yang FWA terminal tetap. Nilai besaran Indeks biaya pendudukan dan pemancaran frekuensi lebih besar dari yang Jaringan selular TDMA karena dengan menggunakan teknologi CDMA maka lebih efisien dari sisi penyebaran frekuensi.
Jadi tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan terbaru untuk FWA yang setidaknya mampu membuat para penyedia jaringan sellular tidak lagi iri. Peraturan yang mana membuat para penyedia jaringan baik selullar maupun FWA tidak saling merasa dianaktirikan. Dan juga membuat para penyedia jaringan selular seperti EXCELCOM dan TELKOMSEL tidak lagi ingin mengeluarkan produk FWA.
Referensi
1. Keputusan Menteri Perhubungan No 35 Tahun 2004
2. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2005
3. Diktat Kuliah Aspek Regulasi dan Lembaga Internasional oleh Ir.Arnold Ph.Djiwatampu,IPM
4. Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2005
5. Berbagai sumber di Internet
Bima Indra Gunawan
Mahasiswa Management Telekomunikasi
Universitas Indonesia
Baca lagi...
Senin, Juni 09, 2008
Jaringan Murah atau Konten Murah
Seperti yang kita ketahui bahwa internet bukan hanya tempat untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Tapi internet itu sendiri sudah menjadi lahan bisnis yang sangat menjanjikan bagi semua orang. Bukan cuma perusahaan besar seperti Google, Yahoo atau bahkan Friendster yang menjadikan lahan bisnis yang sangat besar. Perusahaan kecil pun mampu menghasilkan banyak keuntungan dari berbagai bisnis yang dilakukan di dunia maya. Belum lagi sekarang banyak instansi pemerintahan yang memperkenalkan e-goverment nya. Bahkan banyak juga yang notabennya bukan perusahaan tapi perorangan yang mampu melakukan bisnisnya hanya dengan bermodalkan saluran internet.
Semulus itukah perkembangan internet? Ternyata tidak, banyak juga yang mempermasalahkan mengenai netralitas suatu jaringan internet dan selama ini membuat beberapa perusahaan besar penyedia aplikasi atau konten menjadi takut. Konflik antara penyedia jaringan dan penyedia konten merupakan konflik yang tidak pernah selesai, tapi pernah menghilang dan seperti bangkit lagi dari kubur. Masalah netralitas suatu jaringan merupakan debat panjang dimana suatu kepentingan atau pihak yang merasa memiliki hak atas penyedia dan berhak pula atas keuntungan dari penggunaan jaringan tersebut.
Konflik Pasar Internet
Masalah yang menjadi diskusi akhir-akhir ini adalah kasus antara Google dan AT&T yang mana AT&T sebagai penyedia jaringan merasa ingin mendapatkan keuntungan dari Google sebagai pemakai jaringan. AT&T merasa perlu adanya keterbatasan akses bagi para pengguna internet untuk menikmati suatu akses menuju penyedia aplikasi. Akibatnya banyak dari para pengguna internet yang protes karena merasa pembatasan akses merupakan suatu diskriminasi atau perbedaan antara aplikasi yang satu dengan yang lainnya. Pihak penyedia jaringan merasa, Mereka yang mempunyai investasi dan bagaimana mungkin Yahoo,Google dan lain-lain mendapatkan pelanggan tapi tidak punya jaringan. Karena Google atau Yahoo masih mengharapkan menggunakan jaringan ini secara gratis.
Pembatasan tersebut berarti masing-masing aplikasi akan berbeda kapasitas jaringan aksesnya. Dengan begitu, aplikasi yang memberikan kontributsi yang lebih besar kepada penyedia jaringan akan diberikan akses yang lebih banyak lagi. Sebaliknya dengan aplikasi yang tidak memberikan kontributsi profitnya ke penyedia jaringan akan mendapatkan akses yang lebih sedikit. Berarti hanya aplikasi atau website tertentu saja yang hanya boleh diakses oleh para pengguna internet. Lalu bagaimana dengan aplikasi pendidikan ? apakah akan sama dengan yang lain. Atau aturan itu hanya berlaku untuk pengguna bisnis korporate.
Seperti yang dijelaskan oleh Andrew Odlyzko, bahwa antara tarif sms di US sekitar $0.1 setiap 30 byte atau sekitar $3000 per MB. Dan bila dibandingkan dengan biaya koneksi internet untuk akses backbone sebesar 3 GB adalah $30 perbulan atau menjadi $0.01 per Mbnya. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan harga yang jauh berbeda antara layanan penyedia jaringan internet dan layanan konten [1]. Bagaimana tidak cemburu, apabila para penyedia aplikasi konten dapat dengan mudah memasang iklan dan membuat aplikasinya seperti ladang untuk meraup keuntungan dari banyak iklan dan pengguna internet tanpa harus membayar lebih mahal kepada penyedia jaringan. Para penyedia jaringan pun berharap para pengguna internet akan dibatasi aksesnya untuk masuk ke penyedia aplikasi, atau dengan kata lain terjadi diskriminasi harga baik antar pelanggan ataupun antar para penyedia aplikasi.
Gambar 1.Harga Layanan
Diskriminasi Harga
Dengan cara pembatasan akses tersebut berarti pula berkaitan dengan diskriminasi harga, apabila mampu membayar lebih tentunya akan mendapatkan akses yang lebih besar. Seperti contoh untuk kasus penggunaan jalan raya. Dimana yang lewat dengan kapasitas yang besar pastinya harus membayar lebih. Terutama untuk kegiatan bisnis korporate. Dahulu, didunia telekomunikasi untuk pengiriman bit-bit aplikasi internet selalu mengutamakan first come-first served, tapi seiring kemajuan dan berkembangnya broadband maka para pemilik jaringan ingin mengatur lalu lintas trafik berdasarkan tingkatan-tingkatan pembayaran dan siapa yang menginginkan [2].
Lalu apabila terjadi diskriminasi harga bagaimana regulator mengatur itu semua ? Mengingat pertumbuhan internet yang begitu cepat dan trafik semakin besar. Seperti yang dibicarakan masyarakat dahulu bahwa konten adalah raja, dengan konten yang semakin bagus dan variatif tentunya semakin banyak iklan dan keuntungan yang akan datang. Tentunya semakin menariknya suatu konten pasti membuat trafik di jaringan internet menjadi sangat besar. Bahkan beberapa penyedia aplikasi banyak yang menyediakan layanan video-streaming. Karena keinginan untuk video-steaming atau malah video conference yang menyebabkan trafik di jaringan sangatlah padat. Bandingkan dengan pengiriman email yang hanya beberapa kB. Dengan diskriminasi harga akan dibuat menjadi beberapa tingkatan, tentunya kita bisa memberikan harga sesuai dengan keinginan dan kemauan dari setiap pengguna internet, yang terkenal dengan nama ”behavior targeting”.
Kasus yang terjadi di Indonesia
Sedangkan untuk bangsa Indonesia ini memang berbeda, tidak seperti negara maju yang memiliki jaringan backbone. Kondisi backbone internet di Indonesia hanya tersedia di wilayah bagian barat. Kenapa dengan wilayah bagian barat ? Karena yang untuk gateway atau gerbang menuju internet internasional hanya menuju ke negara Singapura dan Singapura. Sedangkan pasar internet yang paling menguntungkan hanya sekitar pulau Jawa. Jadi bisa disimpulkan jaringan backbone internet hanya dari pulau Jawa menuju negara Singapura ataupun menuju Australia.
Sama halnya dengan keinginan dari para penyedia jaringan internasional, di Indonesia pun para penyedia jaringan hanya mau menyediakan jaringan untuk daerah-daerah yang mempunyai profit atau pemasukan yang besar. Perbedaannya pada AT&T merasa cemburu terhadap bisnis konten yang sangat menguntungkan. Sedangkan para penyedia jaringan di Indonesia merasa pembuatan atau investasi jaringan backbone di Indonesia bagian Timur sangat sulit untuk mendapatkan untung yang besar. Sehingga mereka merasa lebih baik tidak membuat jaringan.
Mahalnya Jaringan Internet Indonesia
Mungkin karena wilayah Indonesia sangat luas yang membuat penyedia jaringan backbone takut berinvestasi. Tentu saja kolerasinya dengan semakin luas maka semakin mahal juga harga yang ditawarkan. Apalagi kondisi infrastruktur internet di Indonesia ini hanya memiliki dua gateway menuju internet internasional. Tidak seperti Negara Jepang yang memiliki banyak Route ke Korea, Cina, Rusia, Amerika dan Taiwan yang membuat banyaknya route yang dimiliki membuat harga semakin kompetitif.
Kita patut bersyukur bahwa pemerintah sebagai penggegas untuk backbone jaringan di seluruh Indonesia, khususnya bagian timur. Meskipun pemerintah bukan sebagai penyedia utama, tapi dengan adanya Palapa Ring yang dibentuk secara konsorsium menunjukkan niat pemerintah untuk membangun Jaringan Backbone secara adil. Kenapa disebut secara adil ? karena dengan pembangunan secara konsorsium membuat monopoli penguasaan jaringan sangat kecil. Tapi yang menjadi kendala adalah pemerintah sendiri masih bingung bagaimana mekanisme kerja untuk operasionalnya apabila Palapa Ring sudah dibangun. Apakah akan dibagi sesuai dengan yang membangun atau diserahkan kepada suatu perusahaan yang khusus mengerjakan maintanance / perawatan, entahlah ?
Pastinya setelah Palapa Ring berjalan, tentunya era telekomunikasi broadband menjadi sangat meningkat. Dan bisnis-bisnis konten pasti lebih banyak lagi bermunculan. Tentunya hal ini bisa saja memacu konflik antara penyedia jaringan dan penyedia konten, meskipun hanya di level nasional. Sudah pasti penyedia jaringan di Indonesia juga akan memberlakukan diskriminasi harga untuk penyedia aplikasi atau konten.
Antipasi yang paling utama adalah dari pemerintah itu sendiri dengan cara mengeluarkan regulasi yang sesuai. Setidaknya mumpung perkembangan teknologi broadband belum terlalu berkembang di negara ini. Tentu tidak bisa hanya membuat peraturan saja, tapi juga harus mengacu pada kasus di dunia internasional, seperti kasus AT&T dan Google. Jangan sampai pemerintah membuat peraturan setelah adanya konflik yang memanas dan juga protes dari masyarakat umum.
Tapi untuk regulasi tersebut belum tentu akan menjadi solusi yang baik, mengingat bahwa pembangunan jaringan backbone Palapa Ring adalah suatu konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau operator telekomunikasi. Dengan konsorsium itu tentunya masing-masing perusahaan konsorsium akan membuat suatu aplikasi konten yang menguntungkan dan sangat menjual. Namun ketika ada perusahaan aplikasi konten yang tidak termasuk konsorsium tersebut dan menjadi pasar dominan tentunya akan menjadi kecemburuan para perusahaan konsorsium, bisa saja nantinya mereka akan membuat diskriminasi harga seperti yang dipersoalkan oleh AT&T kepada Google.
Para perusahaan gabungan konsorsium pastinya akan memberikan konten atau aplikasi yang bundeling dengan kapasitas jaringan internet akses nya. Sehingga akan banyak dari beberapa pelanggan yang kesulitan untuk mengakses penyedia aplikasi yang tidak termasuk bundling. Dalam artian dimana perusahaan konsorsium akan membuat service yang lambat dan bahkan bisa distop koneksinya kepada lawan.
Konten di Indonesia
Jangan dulu berbicara netralitas suatu jaringan di Indonesia. Yang mulai menghawatirkan sebenarnya adalah pemakaian dan konten dalam aplikasinya dimasyarakat. Bisa dikatakan lebih dari 90 persen pemakaian lebar pita internet adalah koneksi global, dan sedikit sisanya yang termanfaatkan untuk mengakses konten lokal. Tentu saja tidak ada yang salah dengan dominasi pemakaian Yahoo! untuk surat elektronik, atau Google untuk mesin pencari. Dan sebaliknya bukan berarti kita harus membuat sarana semacam Yahoo! atau Google versi lokal. “Lokalisasi” konten global semacam itu hanya menunjukkan minimnya kreatifitas kita seperti saat awal boom industri konten internet sampai tahun 2000-an di Indonesia. Sangatlah tidak efisien, dan tidak perlu, untuk berusaha menyaingi Google dkk tersebut.
Masih ingatkah kejadian pada Rabu, 27 Desember 2006 yang lalu ketika semua akses internet dari Indonesia ke luar negeri terganggu, bahkan berhenti. Situs-situs terkenal seperti Yahoo.com, Google.com, Msn.com, dan lainnya gagal diakses [4]. Beberapa pengguna internet yang bergantung pada beberapa webmail luar negeri dalam mengelola e-mailnya sempat kebingungan. Berkat adanya beberapa jalur POP3 dan SMTP yang masih bisa diakses dari beberapa provider e-mail, aktivitas menerima dan berkirim surat elektronik dapat sedikit terbantu namun bergerak lamban.
Gangguan ini juga dialami oleh pengguna internet di Asia yang ingin mengakses situs-situs yang servernya terletak di luar negaranya. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa kabel serat optik di bawah laut Taiwan akibat gempa 7.1 SR yang melanda Taiwan pada hari Selasa malam. Padahal kabel serat optik tersebut merupakan backbone jalur utama komunikasi internasional yang menghubungkan beberapa negara Asia ke luar negeri. Pada kondisi itu, pengguna internet di negara-negara Asia terutama Indonesia praktis sempat terisolir dari website luar negeri. Mereka hanya dapat mengakses situs-situs yang lokasi servernya di dalam negeri karena jalur komunikasi di dalam negeri masih bekerja normal. Padahal tidak banyak situs lokal yang terbangun atau bahkan dapat diandalkan oleh pengguna internet di Indonesia. Meskipun berbagai pihak akhirnya berhasil dilakukan re-route trafik ke jalur lain dengan kapasitas terbatas, sudah saatnya pengguna dan pengembang internet di Indonesia menyadari. Ketergantungan pada akses konten di luar negeri bukan hanya memperbesar biaya belanja bandwidth ke luar negeri tetapi juga mampu menghentikan aktivitas rutin ketika hal-hal yang tidak terduga semacam ini.
Konten Sellular
Bukan Cuma di dunia internet yang ada perbedaan tarif antara penyedia jaringan dan penyedian konten. Di dunia selullar pun deengan banyaknya tarif murah antara operator selullar yang satu dengan yang lainnya menunjukkan penggunaan jaringan telekomunikasi sudah semakin diobral. Tapi lain halnya dengan harga konten untuk selullar, pernahkah kita semua lihat harga konten selullar yang diobral ? Jangan harap ada harga ringback tone atau games yang akan di-download menjadi ikutan murah. Bahkan para operator tidak dapat menjamin jika tarif konten diturunkan akan terjadi volume pemakaian konten itu sendiri.
Kesimpulan
Debat mengenai jaringan yang netral akan selalu terjadi antara sesama bisnis internet. Mungkin apabila sudah tersedia jaringan netral maka konflik bisa saja berpindah ke tingkatan yang berbeda, misalnya menjadi aplikasi search yang netral. Karena itu semua berhubungan dengan periklanan dan juga penjualan. Dimana pasar yang dominan pasti akan menjadi kecemburuan dari pasar yang kecil. Tapi jaringan netral sepertinya belum menjadi masalah bagi perkembangan internet di Indonesia.
Diskriminasi harga memang faktor yang sangat tidak disukai dan akan selalu dilawan. Seperti halnya di dunia transportasi, apabila di dunia telekomunikasi juga mengenal diskriminasi harga sangat tidak adil apabila penyedia jaringan membangun jaringan dan membatasi kemampuan pelanggan untuk mendapatkan aplikasi yang mereka pilih.
Para penyedia jaringan internet di Indonesia hanya mau menyediakan jaringan khususnya backbone pada daerah atau tempat yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Ide Palapa Ring selain untuk membuat jaringan backbone telekomunikasi juga agar menciptakan jaringan yang netral karena pembangunannya berasal dari konsorsium beberapa perusahaan.
Kebutuhan konten lokal sudah harus menjadi alasan utama membangun konten dalam negeri. Tanpa adanya kebutuhan dari masyarakat,suatu produk akan gagal setelah diluncurkan. Apalagi kalau konten lokal sudah mulai merajalela, bukan tidak mungkin harga konten-konten tersebut menjadi sangat murah.
Dukungan penyedia jaringan internet juga sangat berperan dalam perkembangan konten lokal yang diminati dalam negeri maupun luar negeri. Karena dengan dukungannya akan mampu meningkatkan akses terhadap konten lokal dari segi trafik. Bila didalam negeri kaya akan konten lokal, service yang mudah, murah dan memuaskan bukan tidak mungkin kita akan meraksan nyamannya dunia internet walupun dengan akses dalam negeri.
Bima Indra Gunawan
Mahasiswa Megister Manajemen Telekomunikasi
Universitas Indonesia
Sumber
[1] Odlyzko, Andrew. 27 Januari 2008. ”Network neutrality, search neutrality, and the never-ending conflict between effciency and fairness in market”s. Minneapolis : Digital Tecnology Center, University of Minnesota.
[2] Gattuso, James L. 2 Juni 2006. “Broadband Regulation : Will Conress Neuter the Net ?. Washington DC : The Heritage Foundation.
[3] Ajie ,Wisnhu 30 April 2008 ”PT Telkom Membangun Kerajaan Konten”
[4] Suara Merdeka Minggu – Rubrik Konek 7 Januari 2007 Baca lagi...
Semulus itukah perkembangan internet? Ternyata tidak, banyak juga yang mempermasalahkan mengenai netralitas suatu jaringan internet dan selama ini membuat beberapa perusahaan besar penyedia aplikasi atau konten menjadi takut. Konflik antara penyedia jaringan dan penyedia konten merupakan konflik yang tidak pernah selesai, tapi pernah menghilang dan seperti bangkit lagi dari kubur. Masalah netralitas suatu jaringan merupakan debat panjang dimana suatu kepentingan atau pihak yang merasa memiliki hak atas penyedia dan berhak pula atas keuntungan dari penggunaan jaringan tersebut.
Konflik Pasar Internet
Masalah yang menjadi diskusi akhir-akhir ini adalah kasus antara Google dan AT&T yang mana AT&T sebagai penyedia jaringan merasa ingin mendapatkan keuntungan dari Google sebagai pemakai jaringan. AT&T merasa perlu adanya keterbatasan akses bagi para pengguna internet untuk menikmati suatu akses menuju penyedia aplikasi. Akibatnya banyak dari para pengguna internet yang protes karena merasa pembatasan akses merupakan suatu diskriminasi atau perbedaan antara aplikasi yang satu dengan yang lainnya. Pihak penyedia jaringan merasa, Mereka yang mempunyai investasi dan bagaimana mungkin Yahoo,Google dan lain-lain mendapatkan pelanggan tapi tidak punya jaringan. Karena Google atau Yahoo masih mengharapkan menggunakan jaringan ini secara gratis.
Pembatasan tersebut berarti masing-masing aplikasi akan berbeda kapasitas jaringan aksesnya. Dengan begitu, aplikasi yang memberikan kontributsi yang lebih besar kepada penyedia jaringan akan diberikan akses yang lebih banyak lagi. Sebaliknya dengan aplikasi yang tidak memberikan kontributsi profitnya ke penyedia jaringan akan mendapatkan akses yang lebih sedikit. Berarti hanya aplikasi atau website tertentu saja yang hanya boleh diakses oleh para pengguna internet. Lalu bagaimana dengan aplikasi pendidikan ? apakah akan sama dengan yang lain. Atau aturan itu hanya berlaku untuk pengguna bisnis korporate.
Seperti yang dijelaskan oleh Andrew Odlyzko, bahwa antara tarif sms di US sekitar $0.1 setiap 30 byte atau sekitar $3000 per MB. Dan bila dibandingkan dengan biaya koneksi internet untuk akses backbone sebesar 3 GB adalah $30 perbulan atau menjadi $0.01 per Mbnya. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan harga yang jauh berbeda antara layanan penyedia jaringan internet dan layanan konten [1]. Bagaimana tidak cemburu, apabila para penyedia aplikasi konten dapat dengan mudah memasang iklan dan membuat aplikasinya seperti ladang untuk meraup keuntungan dari banyak iklan dan pengguna internet tanpa harus membayar lebih mahal kepada penyedia jaringan. Para penyedia jaringan pun berharap para pengguna internet akan dibatasi aksesnya untuk masuk ke penyedia aplikasi, atau dengan kata lain terjadi diskriminasi harga baik antar pelanggan ataupun antar para penyedia aplikasi.
Gambar 1.Harga Layanan
Diskriminasi Harga
Dengan cara pembatasan akses tersebut berarti pula berkaitan dengan diskriminasi harga, apabila mampu membayar lebih tentunya akan mendapatkan akses yang lebih besar. Seperti contoh untuk kasus penggunaan jalan raya. Dimana yang lewat dengan kapasitas yang besar pastinya harus membayar lebih. Terutama untuk kegiatan bisnis korporate. Dahulu, didunia telekomunikasi untuk pengiriman bit-bit aplikasi internet selalu mengutamakan first come-first served, tapi seiring kemajuan dan berkembangnya broadband maka para pemilik jaringan ingin mengatur lalu lintas trafik berdasarkan tingkatan-tingkatan pembayaran dan siapa yang menginginkan [2].
Lalu apabila terjadi diskriminasi harga bagaimana regulator mengatur itu semua ? Mengingat pertumbuhan internet yang begitu cepat dan trafik semakin besar. Seperti yang dibicarakan masyarakat dahulu bahwa konten adalah raja, dengan konten yang semakin bagus dan variatif tentunya semakin banyak iklan dan keuntungan yang akan datang. Tentunya semakin menariknya suatu konten pasti membuat trafik di jaringan internet menjadi sangat besar. Bahkan beberapa penyedia aplikasi banyak yang menyediakan layanan video-streaming. Karena keinginan untuk video-steaming atau malah video conference yang menyebabkan trafik di jaringan sangatlah padat. Bandingkan dengan pengiriman email yang hanya beberapa kB. Dengan diskriminasi harga akan dibuat menjadi beberapa tingkatan, tentunya kita bisa memberikan harga sesuai dengan keinginan dan kemauan dari setiap pengguna internet, yang terkenal dengan nama ”behavior targeting”.
Kasus yang terjadi di Indonesia
Sedangkan untuk bangsa Indonesia ini memang berbeda, tidak seperti negara maju yang memiliki jaringan backbone. Kondisi backbone internet di Indonesia hanya tersedia di wilayah bagian barat. Kenapa dengan wilayah bagian barat ? Karena yang untuk gateway atau gerbang menuju internet internasional hanya menuju ke negara Singapura dan Singapura. Sedangkan pasar internet yang paling menguntungkan hanya sekitar pulau Jawa. Jadi bisa disimpulkan jaringan backbone internet hanya dari pulau Jawa menuju negara Singapura ataupun menuju Australia.
Sama halnya dengan keinginan dari para penyedia jaringan internasional, di Indonesia pun para penyedia jaringan hanya mau menyediakan jaringan untuk daerah-daerah yang mempunyai profit atau pemasukan yang besar. Perbedaannya pada AT&T merasa cemburu terhadap bisnis konten yang sangat menguntungkan. Sedangkan para penyedia jaringan di Indonesia merasa pembuatan atau investasi jaringan backbone di Indonesia bagian Timur sangat sulit untuk mendapatkan untung yang besar. Sehingga mereka merasa lebih baik tidak membuat jaringan.
Mahalnya Jaringan Internet Indonesia
Mungkin karena wilayah Indonesia sangat luas yang membuat penyedia jaringan backbone takut berinvestasi. Tentu saja kolerasinya dengan semakin luas maka semakin mahal juga harga yang ditawarkan. Apalagi kondisi infrastruktur internet di Indonesia ini hanya memiliki dua gateway menuju internet internasional. Tidak seperti Negara Jepang yang memiliki banyak Route ke Korea, Cina, Rusia, Amerika dan Taiwan yang membuat banyaknya route yang dimiliki membuat harga semakin kompetitif.
Kita patut bersyukur bahwa pemerintah sebagai penggegas untuk backbone jaringan di seluruh Indonesia, khususnya bagian timur. Meskipun pemerintah bukan sebagai penyedia utama, tapi dengan adanya Palapa Ring yang dibentuk secara konsorsium menunjukkan niat pemerintah untuk membangun Jaringan Backbone secara adil. Kenapa disebut secara adil ? karena dengan pembangunan secara konsorsium membuat monopoli penguasaan jaringan sangat kecil. Tapi yang menjadi kendala adalah pemerintah sendiri masih bingung bagaimana mekanisme kerja untuk operasionalnya apabila Palapa Ring sudah dibangun. Apakah akan dibagi sesuai dengan yang membangun atau diserahkan kepada suatu perusahaan yang khusus mengerjakan maintanance / perawatan, entahlah ?
Pastinya setelah Palapa Ring berjalan, tentunya era telekomunikasi broadband menjadi sangat meningkat. Dan bisnis-bisnis konten pasti lebih banyak lagi bermunculan. Tentunya hal ini bisa saja memacu konflik antara penyedia jaringan dan penyedia konten, meskipun hanya di level nasional. Sudah pasti penyedia jaringan di Indonesia juga akan memberlakukan diskriminasi harga untuk penyedia aplikasi atau konten.
Antipasi yang paling utama adalah dari pemerintah itu sendiri dengan cara mengeluarkan regulasi yang sesuai. Setidaknya mumpung perkembangan teknologi broadband belum terlalu berkembang di negara ini. Tentu tidak bisa hanya membuat peraturan saja, tapi juga harus mengacu pada kasus di dunia internasional, seperti kasus AT&T dan Google. Jangan sampai pemerintah membuat peraturan setelah adanya konflik yang memanas dan juga protes dari masyarakat umum.
Tapi untuk regulasi tersebut belum tentu akan menjadi solusi yang baik, mengingat bahwa pembangunan jaringan backbone Palapa Ring adalah suatu konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau operator telekomunikasi. Dengan konsorsium itu tentunya masing-masing perusahaan konsorsium akan membuat suatu aplikasi konten yang menguntungkan dan sangat menjual. Namun ketika ada perusahaan aplikasi konten yang tidak termasuk konsorsium tersebut dan menjadi pasar dominan tentunya akan menjadi kecemburuan para perusahaan konsorsium, bisa saja nantinya mereka akan membuat diskriminasi harga seperti yang dipersoalkan oleh AT&T kepada Google.
Para perusahaan gabungan konsorsium pastinya akan memberikan konten atau aplikasi yang bundeling dengan kapasitas jaringan internet akses nya. Sehingga akan banyak dari beberapa pelanggan yang kesulitan untuk mengakses penyedia aplikasi yang tidak termasuk bundling. Dalam artian dimana perusahaan konsorsium akan membuat service yang lambat dan bahkan bisa distop koneksinya kepada lawan.
Konten di Indonesia
Jangan dulu berbicara netralitas suatu jaringan di Indonesia. Yang mulai menghawatirkan sebenarnya adalah pemakaian dan konten dalam aplikasinya dimasyarakat. Bisa dikatakan lebih dari 90 persen pemakaian lebar pita internet adalah koneksi global, dan sedikit sisanya yang termanfaatkan untuk mengakses konten lokal. Tentu saja tidak ada yang salah dengan dominasi pemakaian Yahoo! untuk surat elektronik, atau Google untuk mesin pencari. Dan sebaliknya bukan berarti kita harus membuat sarana semacam Yahoo! atau Google versi lokal. “Lokalisasi” konten global semacam itu hanya menunjukkan minimnya kreatifitas kita seperti saat awal boom industri konten internet sampai tahun 2000-an di Indonesia. Sangatlah tidak efisien, dan tidak perlu, untuk berusaha menyaingi Google dkk tersebut.
Masih ingatkah kejadian pada Rabu, 27 Desember 2006 yang lalu ketika semua akses internet dari Indonesia ke luar negeri terganggu, bahkan berhenti. Situs-situs terkenal seperti Yahoo.com, Google.com, Msn.com, dan lainnya gagal diakses [4]. Beberapa pengguna internet yang bergantung pada beberapa webmail luar negeri dalam mengelola e-mailnya sempat kebingungan. Berkat adanya beberapa jalur POP3 dan SMTP yang masih bisa diakses dari beberapa provider e-mail, aktivitas menerima dan berkirim surat elektronik dapat sedikit terbantu namun bergerak lamban.
Gangguan ini juga dialami oleh pengguna internet di Asia yang ingin mengakses situs-situs yang servernya terletak di luar negaranya. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa kabel serat optik di bawah laut Taiwan akibat gempa 7.1 SR yang melanda Taiwan pada hari Selasa malam. Padahal kabel serat optik tersebut merupakan backbone jalur utama komunikasi internasional yang menghubungkan beberapa negara Asia ke luar negeri. Pada kondisi itu, pengguna internet di negara-negara Asia terutama Indonesia praktis sempat terisolir dari website luar negeri. Mereka hanya dapat mengakses situs-situs yang lokasi servernya di dalam negeri karena jalur komunikasi di dalam negeri masih bekerja normal. Padahal tidak banyak situs lokal yang terbangun atau bahkan dapat diandalkan oleh pengguna internet di Indonesia. Meskipun berbagai pihak akhirnya berhasil dilakukan re-route trafik ke jalur lain dengan kapasitas terbatas, sudah saatnya pengguna dan pengembang internet di Indonesia menyadari. Ketergantungan pada akses konten di luar negeri bukan hanya memperbesar biaya belanja bandwidth ke luar negeri tetapi juga mampu menghentikan aktivitas rutin ketika hal-hal yang tidak terduga semacam ini.
Konten Sellular
Bukan Cuma di dunia internet yang ada perbedaan tarif antara penyedia jaringan dan penyedian konten. Di dunia selullar pun deengan banyaknya tarif murah antara operator selullar yang satu dengan yang lainnya menunjukkan penggunaan jaringan telekomunikasi sudah semakin diobral. Tapi lain halnya dengan harga konten untuk selullar, pernahkah kita semua lihat harga konten selullar yang diobral ? Jangan harap ada harga ringback tone atau games yang akan di-download menjadi ikutan murah. Bahkan para operator tidak dapat menjamin jika tarif konten diturunkan akan terjadi volume pemakaian konten itu sendiri.
Kesimpulan
Debat mengenai jaringan yang netral akan selalu terjadi antara sesama bisnis internet. Mungkin apabila sudah tersedia jaringan netral maka konflik bisa saja berpindah ke tingkatan yang berbeda, misalnya menjadi aplikasi search yang netral. Karena itu semua berhubungan dengan periklanan dan juga penjualan. Dimana pasar yang dominan pasti akan menjadi kecemburuan dari pasar yang kecil. Tapi jaringan netral sepertinya belum menjadi masalah bagi perkembangan internet di Indonesia.
Diskriminasi harga memang faktor yang sangat tidak disukai dan akan selalu dilawan. Seperti halnya di dunia transportasi, apabila di dunia telekomunikasi juga mengenal diskriminasi harga sangat tidak adil apabila penyedia jaringan membangun jaringan dan membatasi kemampuan pelanggan untuk mendapatkan aplikasi yang mereka pilih.
Para penyedia jaringan internet di Indonesia hanya mau menyediakan jaringan khususnya backbone pada daerah atau tempat yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Ide Palapa Ring selain untuk membuat jaringan backbone telekomunikasi juga agar menciptakan jaringan yang netral karena pembangunannya berasal dari konsorsium beberapa perusahaan.
Kebutuhan konten lokal sudah harus menjadi alasan utama membangun konten dalam negeri. Tanpa adanya kebutuhan dari masyarakat,suatu produk akan gagal setelah diluncurkan. Apalagi kalau konten lokal sudah mulai merajalela, bukan tidak mungkin harga konten-konten tersebut menjadi sangat murah.
Dukungan penyedia jaringan internet juga sangat berperan dalam perkembangan konten lokal yang diminati dalam negeri maupun luar negeri. Karena dengan dukungannya akan mampu meningkatkan akses terhadap konten lokal dari segi trafik. Bila didalam negeri kaya akan konten lokal, service yang mudah, murah dan memuaskan bukan tidak mungkin kita akan meraksan nyamannya dunia internet walupun dengan akses dalam negeri.
Bima Indra Gunawan
Mahasiswa Megister Manajemen Telekomunikasi
Universitas Indonesia
Sumber
[1] Odlyzko, Andrew. 27 Januari 2008. ”Network neutrality, search neutrality, and the never-ending conflict between effciency and fairness in market”s. Minneapolis : Digital Tecnology Center, University of Minnesota.
[2] Gattuso, James L. 2 Juni 2006. “Broadband Regulation : Will Conress Neuter the Net ?. Washington DC : The Heritage Foundation.
[3] Ajie ,Wisnhu 30 April 2008 ”PT Telkom Membangun Kerajaan Konten”
[4] Suara Merdeka Minggu – Rubrik Konek 7 Januari 2007 Baca lagi...
Curhat
Telekomunikasi
mulai lagi
bismillahirahmannirrahim...
mudah2an gak males lagi bikin ginian. semoga Allah selalu memberi petunjuk kepada hambamu yang penuh dosa ini. Baca lagi...
mudah2an gak males lagi bikin ginian. semoga Allah selalu memberi petunjuk kepada hambamu yang penuh dosa ini. Baca lagi...
Curhat
curhat
Langganan:
Postingan (Atom)