Senin, Juni 09, 2008

Jaringan Murah atau Konten Murah

Seperti yang kita ketahui bahwa internet bukan hanya tempat untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Tapi internet itu sendiri sudah menjadi lahan bisnis yang sangat menjanjikan bagi semua orang. Bukan cuma perusahaan besar seperti Google, Yahoo atau bahkan Friendster yang menjadikan lahan bisnis yang sangat besar. Perusahaan kecil pun mampu menghasilkan banyak keuntungan dari berbagai bisnis yang dilakukan di dunia maya. Belum lagi sekarang banyak instansi pemerintahan yang memperkenalkan e-goverment nya. Bahkan banyak juga yang notabennya bukan perusahaan tapi perorangan yang mampu melakukan bisnisnya hanya dengan bermodalkan saluran internet.

Semulus itukah perkembangan internet? Ternyata tidak, banyak juga yang mempermasalahkan mengenai netralitas suatu jaringan internet dan selama ini membuat beberapa perusahaan besar penyedia aplikasi atau konten menjadi takut. Konflik antara penyedia jaringan dan penyedia konten merupakan konflik yang tidak pernah selesai, tapi pernah menghilang dan seperti bangkit lagi dari kubur. Masalah netralitas suatu jaringan merupakan debat panjang dimana suatu kepentingan atau pihak yang merasa memiliki hak atas penyedia dan berhak pula atas keuntungan dari penggunaan jaringan tersebut.

Konflik Pasar Internet
Masalah yang menjadi diskusi akhir-akhir ini adalah kasus antara Google dan AT&T yang mana AT&T sebagai penyedia jaringan merasa ingin mendapatkan keuntungan dari Google sebagai pemakai jaringan. AT&T merasa perlu adanya keterbatasan akses bagi para pengguna internet untuk menikmati suatu akses menuju penyedia aplikasi. Akibatnya banyak dari para pengguna internet yang protes karena merasa pembatasan akses merupakan suatu diskriminasi atau perbedaan antara aplikasi yang satu dengan yang lainnya. Pihak penyedia jaringan merasa, Mereka yang mempunyai investasi dan bagaimana mungkin Yahoo,Google dan lain-lain mendapatkan pelanggan tapi tidak punya jaringan. Karena Google atau Yahoo masih mengharapkan menggunakan jaringan ini secara gratis.

Pembatasan tersebut berarti masing-masing aplikasi akan berbeda kapasitas jaringan aksesnya. Dengan begitu, aplikasi yang memberikan kontributsi yang lebih besar kepada penyedia jaringan akan diberikan akses yang lebih banyak lagi. Sebaliknya dengan aplikasi yang tidak memberikan kontributsi profitnya ke penyedia jaringan akan mendapatkan akses yang lebih sedikit. Berarti hanya aplikasi atau website tertentu saja yang hanya boleh diakses oleh para pengguna internet. Lalu bagaimana dengan aplikasi pendidikan ? apakah akan sama dengan yang lain. Atau aturan itu hanya berlaku untuk pengguna bisnis korporate.

Seperti yang dijelaskan oleh Andrew Odlyzko, bahwa antara tarif sms di US sekitar $0.1 setiap 30 byte atau sekitar $3000 per MB. Dan bila dibandingkan dengan biaya koneksi internet untuk akses backbone sebesar 3 GB adalah $30 perbulan atau menjadi $0.01 per Mbnya. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan harga yang jauh berbeda antara layanan penyedia jaringan internet dan layanan konten [1]. Bagaimana tidak cemburu, apabila para penyedia aplikasi konten dapat dengan mudah memasang iklan dan membuat aplikasinya seperti ladang untuk meraup keuntungan dari banyak iklan dan pengguna internet tanpa harus membayar lebih mahal kepada penyedia jaringan. Para penyedia jaringan pun berharap para pengguna internet akan dibatasi aksesnya untuk masuk ke penyedia aplikasi, atau dengan kata lain terjadi diskriminasi harga baik antar pelanggan ataupun antar para penyedia aplikasi.



Gambar 1.Harga Layanan


Diskriminasi Harga

Dengan cara pembatasan akses tersebut berarti pula berkaitan dengan diskriminasi harga, apabila mampu membayar lebih tentunya akan mendapatkan akses yang lebih besar. Seperti contoh untuk kasus penggunaan jalan raya. Dimana yang lewat dengan kapasitas yang besar pastinya harus membayar lebih. Terutama untuk kegiatan bisnis korporate. Dahulu, didunia telekomunikasi untuk pengiriman bit-bit aplikasi internet selalu mengutamakan first come-first served, tapi seiring kemajuan dan berkembangnya broadband maka para pemilik jaringan ingin mengatur lalu lintas trafik berdasarkan tingkatan-tingkatan pembayaran dan siapa yang menginginkan [2].

Lalu apabila terjadi diskriminasi harga bagaimana regulator mengatur itu semua ? Mengingat pertumbuhan internet yang begitu cepat dan trafik semakin besar. Seperti yang dibicarakan masyarakat dahulu bahwa konten adalah raja, dengan konten yang semakin bagus dan variatif tentunya semakin banyak iklan dan keuntungan yang akan datang. Tentunya semakin menariknya suatu konten pasti membuat trafik di jaringan internet menjadi sangat besar. Bahkan beberapa penyedia aplikasi banyak yang menyediakan layanan video-streaming. Karena keinginan untuk video-steaming atau malah video conference yang menyebabkan trafik di jaringan sangatlah padat. Bandingkan dengan pengiriman email yang hanya beberapa kB. Dengan diskriminasi harga akan dibuat menjadi beberapa tingkatan, tentunya kita bisa memberikan harga sesuai dengan keinginan dan kemauan dari setiap pengguna internet, yang terkenal dengan nama ”behavior targeting”.

Kasus yang terjadi di Indonesia

Sedangkan untuk bangsa Indonesia ini memang berbeda, tidak seperti negara maju yang memiliki jaringan backbone. Kondisi backbone internet di Indonesia hanya tersedia di wilayah bagian barat. Kenapa dengan wilayah bagian barat ? Karena yang untuk gateway atau gerbang menuju internet internasional hanya menuju ke negara Singapura dan Singapura. Sedangkan pasar internet yang paling menguntungkan hanya sekitar pulau Jawa. Jadi bisa disimpulkan jaringan backbone internet hanya dari pulau Jawa menuju negara Singapura ataupun menuju Australia.
Sama halnya dengan keinginan dari para penyedia jaringan internasional, di Indonesia pun para penyedia jaringan hanya mau menyediakan jaringan untuk daerah-daerah yang mempunyai profit atau pemasukan yang besar. Perbedaannya pada AT&T merasa cemburu terhadap bisnis konten yang sangat menguntungkan. Sedangkan para penyedia jaringan di Indonesia merasa pembuatan atau investasi jaringan backbone di Indonesia bagian Timur sangat sulit untuk mendapatkan untung yang besar. Sehingga mereka merasa lebih baik tidak membuat jaringan.

Mahalnya Jaringan Internet Indonesia
Mungkin karena wilayah Indonesia sangat luas yang membuat penyedia jaringan backbone takut berinvestasi. Tentu saja kolerasinya dengan semakin luas maka semakin mahal juga harga yang ditawarkan. Apalagi kondisi infrastruktur internet di Indonesia ini hanya memiliki dua gateway menuju internet internasional. Tidak seperti Negara Jepang yang memiliki banyak Route ke Korea, Cina, Rusia, Amerika dan Taiwan yang membuat banyaknya route yang dimiliki membuat harga semakin kompetitif.

Kita patut bersyukur bahwa pemerintah sebagai penggegas untuk backbone jaringan di seluruh Indonesia, khususnya bagian timur. Meskipun pemerintah bukan sebagai penyedia utama, tapi dengan adanya Palapa Ring yang dibentuk secara konsorsium menunjukkan niat pemerintah untuk membangun Jaringan Backbone secara adil. Kenapa disebut secara adil ? karena dengan pembangunan secara konsorsium membuat monopoli penguasaan jaringan sangat kecil. Tapi yang menjadi kendala adalah pemerintah sendiri masih bingung bagaimana mekanisme kerja untuk operasionalnya apabila Palapa Ring sudah dibangun. Apakah akan dibagi sesuai dengan yang membangun atau diserahkan kepada suatu perusahaan yang khusus mengerjakan maintanance / perawatan, entahlah ?

Pastinya setelah Palapa Ring berjalan, tentunya era telekomunikasi broadband menjadi sangat meningkat. Dan bisnis-bisnis konten pasti lebih banyak lagi bermunculan. Tentunya hal ini bisa saja memacu konflik antara penyedia jaringan dan penyedia konten, meskipun hanya di level nasional. Sudah pasti penyedia jaringan di Indonesia juga akan memberlakukan diskriminasi harga untuk penyedia aplikasi atau konten.
Antipasi yang paling utama adalah dari pemerintah itu sendiri dengan cara mengeluarkan regulasi yang sesuai. Setidaknya mumpung perkembangan teknologi broadband belum terlalu berkembang di negara ini. Tentu tidak bisa hanya membuat peraturan saja, tapi juga harus mengacu pada kasus di dunia internasional, seperti kasus AT&T dan Google. Jangan sampai pemerintah membuat peraturan setelah adanya konflik yang memanas dan juga protes dari masyarakat umum.

Tapi untuk regulasi tersebut belum tentu akan menjadi solusi yang baik, mengingat bahwa pembangunan jaringan backbone Palapa Ring adalah suatu konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau operator telekomunikasi. Dengan konsorsium itu tentunya masing-masing perusahaan konsorsium akan membuat suatu aplikasi konten yang menguntungkan dan sangat menjual. Namun ketika ada perusahaan aplikasi konten yang tidak termasuk konsorsium tersebut dan menjadi pasar dominan tentunya akan menjadi kecemburuan para perusahaan konsorsium, bisa saja nantinya mereka akan membuat diskriminasi harga seperti yang dipersoalkan oleh AT&T kepada Google.
Para perusahaan gabungan konsorsium pastinya akan memberikan konten atau aplikasi yang bundeling dengan kapasitas jaringan internet akses nya. Sehingga akan banyak dari beberapa pelanggan yang kesulitan untuk mengakses penyedia aplikasi yang tidak termasuk bundling. Dalam artian dimana perusahaan konsorsium akan membuat service yang lambat dan bahkan bisa distop koneksinya kepada lawan.

Konten di Indonesia
Jangan dulu berbicara netralitas suatu jaringan di Indonesia. Yang mulai menghawatirkan sebenarnya adalah pemakaian dan konten dalam aplikasinya dimasyarakat. Bisa dikatakan lebih dari 90 persen pemakaian lebar pita internet adalah koneksi global, dan sedikit sisanya yang termanfaatkan untuk mengakses konten lokal. Tentu saja tidak ada yang salah dengan dominasi pemakaian Yahoo! untuk surat elektronik, atau Google untuk mesin pencari. Dan sebaliknya bukan berarti kita harus membuat sarana semacam Yahoo! atau Google versi lokal. “Lokalisasi” konten global semacam itu hanya menunjukkan minimnya kreatifitas kita seperti saat awal boom industri konten internet sampai tahun 2000-an di Indonesia. Sangatlah tidak efisien, dan tidak perlu, untuk berusaha menyaingi Google dkk tersebut.
Masih ingatkah kejadian pada Rabu, 27 Desember 2006 yang lalu ketika semua akses internet dari Indonesia ke luar negeri terganggu, bahkan berhenti. Situs-situs terkenal seperti Yahoo.com, Google.com, Msn.com, dan lainnya gagal diakses [4]. Beberapa pengguna internet yang bergantung pada beberapa webmail luar negeri dalam mengelola e-mailnya sempat kebingungan. Berkat adanya beberapa jalur POP3 dan SMTP yang masih bisa diakses dari beberapa provider e-mail, aktivitas menerima dan berkirim surat elektronik dapat sedikit terbantu namun bergerak lamban.

Gangguan ini juga dialami oleh pengguna internet di Asia yang ingin mengakses situs-situs yang servernya terletak di luar negaranya. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa kabel serat optik di bawah laut Taiwan akibat gempa 7.1 SR yang melanda Taiwan pada hari Selasa malam. Padahal kabel serat optik tersebut merupakan backbone jalur utama komunikasi internasional yang menghubungkan beberapa negara Asia ke luar negeri. Pada kondisi itu, pengguna internet di negara-negara Asia terutama Indonesia praktis sempat terisolir dari website luar negeri. Mereka hanya dapat mengakses situs-situs yang lokasi servernya di dalam negeri karena jalur komunikasi di dalam negeri masih bekerja normal. Padahal tidak banyak situs lokal yang terbangun atau bahkan dapat diandalkan oleh pengguna internet di Indonesia. Meskipun berbagai pihak akhirnya berhasil dilakukan re-route trafik ke jalur lain dengan kapasitas terbatas, sudah saatnya pengguna dan pengembang internet di Indonesia menyadari. Ketergantungan pada akses konten di luar negeri bukan hanya memperbesar biaya belanja bandwidth ke luar negeri tetapi juga mampu menghentikan aktivitas rutin ketika hal-hal yang tidak terduga semacam ini.

Konten Sellular

Bukan Cuma di dunia internet yang ada perbedaan tarif antara penyedia jaringan dan penyedian konten. Di dunia selullar pun deengan banyaknya tarif murah antara operator selullar yang satu dengan yang lainnya menunjukkan penggunaan jaringan telekomunikasi sudah semakin diobral. Tapi lain halnya dengan harga konten untuk selullar, pernahkah kita semua lihat harga konten selullar yang diobral ? Jangan harap ada harga ringback tone atau games yang akan di-download menjadi ikutan murah. Bahkan para operator tidak dapat menjamin jika tarif konten diturunkan akan terjadi volume pemakaian konten itu sendiri.

Kesimpulan
Debat mengenai jaringan yang netral akan selalu terjadi antara sesama bisnis internet. Mungkin apabila sudah tersedia jaringan netral maka konflik bisa saja berpindah ke tingkatan yang berbeda, misalnya menjadi aplikasi search yang netral. Karena itu semua berhubungan dengan periklanan dan juga penjualan. Dimana pasar yang dominan pasti akan menjadi kecemburuan dari pasar yang kecil. Tapi jaringan netral sepertinya belum menjadi masalah bagi perkembangan internet di Indonesia.

Diskriminasi harga memang faktor yang sangat tidak disukai dan akan selalu dilawan. Seperti halnya di dunia transportasi, apabila di dunia telekomunikasi juga mengenal diskriminasi harga sangat tidak adil apabila penyedia jaringan membangun jaringan dan membatasi kemampuan pelanggan untuk mendapatkan aplikasi yang mereka pilih.

Para penyedia jaringan internet di Indonesia hanya mau menyediakan jaringan khususnya backbone pada daerah atau tempat yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar. Ide Palapa Ring selain untuk membuat jaringan backbone telekomunikasi juga agar menciptakan jaringan yang netral karena pembangunannya berasal dari konsorsium beberapa perusahaan.

Kebutuhan konten lokal sudah harus menjadi alasan utama membangun konten dalam negeri. Tanpa adanya kebutuhan dari masyarakat,suatu produk akan gagal setelah diluncurkan. Apalagi kalau konten lokal sudah mulai merajalela, bukan tidak mungkin harga konten-konten tersebut menjadi sangat murah.

Dukungan penyedia jaringan internet juga sangat berperan dalam perkembangan konten lokal yang diminati dalam negeri maupun luar negeri. Karena dengan dukungannya akan mampu meningkatkan akses terhadap konten lokal dari segi trafik. Bila didalam negeri kaya akan konten lokal, service yang mudah, murah dan memuaskan bukan tidak mungkin kita akan meraksan nyamannya dunia internet walupun dengan akses dalam negeri.

Bima Indra Gunawan
Mahasiswa Megister Manajemen Telekomunikasi
Universitas Indonesia

Sumber
[1] Odlyzko, Andrew. 27 Januari 2008. ”Network neutrality, search neutrality, and the never-ending conflict between effciency and fairness in market”s. Minneapolis : Digital Tecnology Center, University of Minnesota.
[2] Gattuso, James L. 2 Juni 2006. “Broadband Regulation : Will Conress Neuter the Net ?. Washington DC : The Heritage Foundation.
[3] Ajie ,Wisnhu 30 April 2008 ”PT Telkom Membangun Kerajaan Konten”
[4] Suara Merdeka Minggu – Rubrik Konek 7 Januari 2007

Tidak ada komentar: